Rabu, 29 April 2009

Embong Fatimah
Pimpinan perempuan dari Tanah Melayu

Pada abad ke 19, kerajaan Riau Lingga pernah dinahodai oleh perempuan. Masa jambatannya memang tidak lama, lebih kurang 2 tahun. Namun demikian, pada hari ini pristiwa tersebut layak direnungkan kembali. Rupanya di tengah derasnya gerakan ‘perempuan perkasa’ orang Melayu telah terlebih dahulu memacak memontum ‘perempuan boleh’. Embong Fatimah nama perempuan itu, sultanah dari keturunan Sultan Mahmud Muzafarsyah yang dengan ikhlas melentakkan jabatannya sebagai sultanah, karena menghargai fatwa ulama Aceh dan Mekkah; perempuan tidak boleh menjabat sebagai pimpinan kerajaan. Lantas apakah Embon Fatimah ‘membunuh’ keperkasaannya. Berikut ini petikan wawancara khayal Embong Fatimah (E.F) dengan Man Tapak.

Man Tapak : Setelah meletakkan jabatan sebagai Sultanah Riau Lingga, katenye Puan tak pakai keluar dari umah. Ape betol tu?

E. Fatimah : Taklah. Hamba tetap menjalankan tugas sebagai warga kerajaan yang baik.

Man Tapak : Maksudnye?

E. Fatimah : Sebagai seorang istri, hamba berkewajiban menumbuhkan kasih sayang di keluarga hamba. Hamba menuangkan segala pemikiran untuk mendukung suami hamba dalam menjalankan tugas kerajaannya. Selain itu, hamba juga mendidik anak-anak hamba bagaimana menjadi orang yang berguna di tengah masyarakat. Itulah tugas hamba yang paling berat, dibandingkan menjadi pimpinan kerajaan.

Man Tapak : Ngape pulak macam tu?

E. Fatimah : Tugas pimpinan hanya memerintah dan menilai, sementara tugas seorang emak mengajak, mencontohkan, memimbing dan mengingatkan suami dan anak setiap saat agar memberi yang terbaik untuk kerajaan.

Man Tapak : Sebagai Sultanah, puan kan bisa mengatur semuanya? Lagi pulak Sultanah itu kan ‘air ludahnye’ masin. Ape yang die cakap, make akan terwujud?

E. Fatimah : (Tersenyum) Menjadi pimpinan kerajaan itu bukan kehendak hati pimpinan yang harus diwujudkan, tetapi kehendak orang banyak atau masyarakat yang harus diwujudkan. Kerajaan itu bukanlah milik pimpinan. Pimpinan hanya mendapat amanah untuk menyejahterakan orang banyak.

Man Tapak : Boleh saye tahu...

E. Fatimah : Apa salahnya. Semakin banyak Tuan Hamba tahu, makin baguslah.

Man Tapak : Ini maaf dulu puan...

E. Fatimah : Tak apa.

Man Tapak : Berape duit yang puan habiskan untuk duduk menjadi pimpinan kerajaan?

E. Fatimah : Duit? Duit apa?

Man Tapak : Duit sosialisasi alias kampanyelah.

E. Fatimah : Duit seharga seikat kangkong pun tak pernah saya keluarkan. Saya dipilih berdasarkan musyawarah dan diminta oleh rakyat.

Man Tapak : Oooo...

E. Fatimah : Mengapa awak bertanya seperti itu?

Man Tapak : Tak ade. Di negeri saye, kalau nak jadi pimpinan atau duduk sebagai dewan kehormatan, harus punye duit berguni-guni. Ade duit, jadi ape pun bisa, walaupun hotaknye bangang.

E. Fatimah : Ah... Masa’?

Man Tapak : Auk deeeehhhh....

Tidak ada komentar: